Minggu, 08 Juni 2014

Pengaruh suku bunga terhadap nilai tukar rupiah serta kondisi di Negara ASEAN


 

Pengaruh Nilai Tukar (kurs) terhadap suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) di Asean-5

 

 

Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel menggunakan metode fixed
effect bahwa variabel nilai tukar (kurs) berhubungan positif dan signifikan dengan suku bunga pasar uang antar bank. Hal ini hanya terjadi di Negara Indonesia dan Malaysia. Dimana peningkatan nilai tukar Rupiah dan Ringgit terhadap Dollar Amerika diiringi dengan meningkatnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) di masing-masing negara tersebut yang berarti sudah sesuai dengan hipotesis awal. Namun, hal ini berbeda dengan negara Singapura, Thailand, dan Philipina. Dimana hasil penelitian menyatakan bahwa untuk tiga negara tersebut, nilai tukar terhadap suku bunga PUAB berhubungan negatif dan signifikan.
Selanjutnya untuk negara Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan hasil bahwa kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap suku bunga PUAB. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyah Utami. Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa apabila kurs nominal secara rata-rata rupiah terhadap dollar AS meningkat hal ini berarti mata uang rupiah terhadap dollar AS
meningkat yang mana mata uang rupiah melemah dan terdepresiasi terhadap dollar AS.
Terjadinya fluktuasi kurs mata uang baik negatif maupun positif disebabkan adanya gejolak situasi ekonomi makro suatu negara. Hal ini tentu saja termasuk Indonesia bersama empat negara ASEAN lainnya. Kecenderungan negatif pada volatilitas kurs mata uang Rupiah terhadap dollar AS di Indonesia tentu dipicu oleh beberapa faktor penyebab di antaranya adanya tekanan terhadap Rupiah yang terjadi pada jatuh tempo utang luar negeri swasta yang umumnya menggunakan denominasi dollar AS.
Terdepresiasinya nilai tukar lebih dalam akan menguras banyak devisa terutama untuk menalangi impor. Bagaimanapun pada satu sisi terlalu kuatnya kurs Rupiah terhadap dollar AS akan membantu dalam mendapatkan barang modal (mesin, teknologi, dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi industri manufaktur dan sektor riil umumnya) dengan harga lebih murah. Jika Rupiah terdepresiasi maka barang-barang modal itu menjadi mahal dengan sendirinya karena seluruhnya menggunakan denominasi dollar AS. Oleh karena itu ketika arus investasi meningkat, baik investasi dalam skema penanaman modal dalam negeri dan asing, terutama di sektor riil, maka permintaan akan barang modal akan semakin tinggi yang semuanya berasal dari impor. Tentu saja kondisi ini akan meningkatkan permintaan akan dollar AS untuk transaksi mendapatkan barang modal tersebut. Di lain sisi, tingginya investasi dengan kebutuhan akan barang modal yang besar tersebut akan menyebabkan ekonomi memanas (over- heating). Meskipun investasi dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi
dan penyerapan tenaga kerja secara bersamaan dengan itu fluktuasi kurs Rupiah akan terjadi.
Sebaliknya terdepresiasinya kurs Rupiah terhadap dollar AS akan menolong sektor industri yang memfokuskan pada pasar ekspor. Tingginya keinginan para pelaku bisnis dalam memproduksi barang dan jasa ekspor akan meningkat jika nilai tukar dollar AS naik. Pada momentum ini maka neraca transaksi perdagangan (barang dan jasa) Indonesia dengan beberapa negara akan mengalami surplus. Sekedar gambaran, ketika kurs Rupiah menguat terhadap dollar AS akibat terjadi krisis ekonomi di AS, maka permintaan barang impor oleh AS ke Indonesia menurun. Pada satu sisi kurs Rupiah menguat tetapi perdagangan barang dan jasa dari Indonesia atau ekspor Indonesia ke AS menurun. Kondisi ini tentu tidak baik bagi ekonomi Indonesia karena menyebabkan terjadinya defisit transaksi perdagangan akibat penurunan nilai ekspor. Apalagi kenyataannya bahwa ekspor produk primer Indonesia sebagian besar ke pasar AS, sehingga ketika terjadi penurunan permintaan dari AS maka konsekuensinya akan menurunkan nilai ekspor Indonesia. Walaupun dari sektor moneter ditandai dengan penguatan kurs Rupiah terhadap dollar AS.
Pada kondisi seperti ini maka sebenarnya baik Indonesia maupun negara ASEAN lainnya memiliki karakteristik yang sama. Dimana hampir semua industri sektor riil di Indonesia dan lima negara ASEAN lainnya sangat bergantung pada barang modal impor. Oleh karena itu, penguatan nilai tukar dapat stabil dan neraca perdagangan tetap surplus apabila dapat mengurangi ketergantungan pada impor barang modal dan mengurangi utang luar negeri swasta. Jika hal tersebut
dapat tercapai, maka permintaan terhadap dollar AS untuk membeli barang impor maupun untuk membayar utang luar negeri berkurang sehingga tekanan terhadap kurs mata uang di pasar uang pun akan menurun.

Tabel : Nilai Tukar Mata Uang ASEAN Terhadap USD,
2009 – 2014 (
y-o-y, %)

Pada tahun 2013, seluruh nilai tukar mata uang di kawasan melemah terhadap USD




 *= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang
Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)


Gambar: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2011 – 2014*
(
y-oy,%)

Tingkat inflasi yang masih tinggi masih menjadi ancaman ekonomi kawasan

 


*= Data untuk Brunei Darussalam, Cambodia, Myanmar adalah posisi per-Desember 2013 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Lao PDR. Malaysia, The Philippines, Singapore, Thailand, Viet Nam adalah posisi per-Januari 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)

Tingkat inflasi yang masih relatif tinggi di ASEAN adalah salah satu penyebab utama yang menyebabkan hambatan bagi perekonomian untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal dan tingkat perbaikan kesejahteraan yang signifikan. Sepanjang tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat inflasi tertinggi di kawasan yang menyebabkannya berada di dalam kelompok negara-negara yang mencatat tingkat inflasi yang tinggi seperti Lao PDR dan Vietnam. Berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang relatif sukses menekan laju inflasi pada kisaran di bawah 3%, pemerintah Indonesia, Lao PDR dan Vietnam terbukti belum mampu menekan laju inflasi di dalam sistem perekonomiannya.

Pada perkembangan terkini melalui rilis tingkat inflasi pada bulan Januari 2014 yang lalu, bahkan Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat inflasi year-on-year tertinggi di kawasan. Indonesia memperoleh capaian IHK yang tercatat 8,22% berbeda signifikan dengan pencatat inflasi tertinggi berikutnya yaitu Lao PDR (5,99%) dan Viet Nam (5,45%). Tekanan inflasi pada perekonomian kawasan ini hendaknya menjadi perhatian yang serius oleh negara-negara anggota ASEAN karena hal ini akan sangat mempengaruhi kesiapan mereka secara kolektif untuk menyongsong ASEAN Economic Community 2015.



Referensi : http://www.macroeconomicdashboard.com
                  http://www.savepageaspdf.com