Pengaruh Nilai Tukar (kurs) terhadap suku
bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) di Asean-5
Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel menggunakan metode fixed
effect bahwa variabel nilai tukar
(kurs) berhubungan positif dan signifikan dengan suku bunga pasar uang antar
bank. Hal ini hanya terjadi di Negara Indonesia dan Malaysia. Dimana
peningkatan nilai tukar Rupiah dan Ringgit terhadap Dollar Amerika diiringi
dengan meningkatnya suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) di masing-masing
negara tersebut yang berarti sudah sesuai dengan hipotesis awal. Namun, hal ini
berbeda dengan negara Singapura, Thailand, dan Philipina. Dimana hasil
penelitian menyatakan bahwa untuk tiga negara tersebut, nilai tukar terhadap
suku bunga PUAB berhubungan negatif dan signifikan.
Selanjutnya untuk negara Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan hasil
bahwa kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap suku bunga PUAB. Hasil
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyah Utami. Dalam penelitian
tersebut mengatakan bahwa apabila kurs nominal secara rata-rata
rupiah terhadap dollar AS meningkat hal ini berarti mata uang rupiah terhadap
dollar AS
meningkat yang mana mata uang rupiah melemah dan terdepresiasi terhadap
dollar AS.
Terjadinya fluktuasi kurs mata uang baik negatif maupun positif
disebabkan adanya gejolak situasi ekonomi makro suatu negara. Hal ini tentu
saja termasuk Indonesia bersama empat negara ASEAN lainnya. Kecenderungan
negatif pada volatilitas kurs mata uang Rupiah terhadap dollar AS di Indonesia
tentu dipicu oleh beberapa faktor penyebab di antaranya adanya tekanan terhadap
Rupiah yang terjadi pada jatuh tempo utang luar negeri swasta yang umumnya
menggunakan denominasi dollar AS.
Terdepresiasinya nilai tukar lebih dalam akan menguras banyak devisa
terutama untuk menalangi impor. Bagaimanapun pada satu sisi terlalu kuatnya
kurs Rupiah terhadap dollar AS akan membantu dalam mendapatkan barang modal
(mesin, teknologi, dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi industri manufaktur dan
sektor riil umumnya) dengan harga lebih murah. Jika Rupiah terdepresiasi maka barang-barang
modal itu menjadi mahal dengan sendirinya karena seluruhnya menggunakan
denominasi dollar AS. Oleh karena itu ketika arus investasi meningkat, baik
investasi dalam skema penanaman modal dalam negeri dan asing, terutama di
sektor riil, maka permintaan akan barang modal akan semakin tinggi yang
semuanya berasal dari impor. Tentu saja kondisi ini akan meningkatkan permintaan
akan dollar AS untuk transaksi mendapatkan barang modal tersebut. Di lain sisi,
tingginya investasi dengan kebutuhan akan barang modal yang besar tersebut akan
menyebabkan ekonomi memanas (over- heating). Meskipun
investasi dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi
dan penyerapan tenaga kerja secara bersamaan dengan itu fluktuasi kurs
Rupiah akan terjadi.
Sebaliknya terdepresiasinya kurs Rupiah terhadap dollar AS akan menolong
sektor industri yang memfokuskan pada pasar ekspor. Tingginya keinginan para pelaku
bisnis dalam memproduksi barang dan jasa ekspor akan meningkat jika nilai tukar
dollar AS naik. Pada momentum ini maka neraca transaksi perdagangan (barang dan
jasa) Indonesia dengan beberapa negara akan mengalami surplus. Sekedar
gambaran, ketika kurs Rupiah menguat terhadap dollar AS akibat terjadi krisis
ekonomi di AS, maka permintaan barang impor oleh AS ke Indonesia menurun. Pada
satu sisi kurs Rupiah menguat tetapi perdagangan barang dan jasa dari Indonesia
atau ekspor Indonesia ke AS menurun. Kondisi ini tentu tidak baik bagi ekonomi
Indonesia karena menyebabkan terjadinya defisit transaksi perdagangan akibat
penurunan nilai ekspor. Apalagi kenyataannya bahwa ekspor produk primer
Indonesia sebagian besar ke pasar AS, sehingga ketika terjadi penurunan
permintaan dari AS maka konsekuensinya akan menurunkan nilai ekspor Indonesia.
Walaupun dari sektor moneter ditandai dengan penguatan kurs Rupiah terhadap
dollar AS.
Pada kondisi seperti ini maka sebenarnya baik Indonesia maupun negara
ASEAN lainnya memiliki karakteristik yang sama. Dimana hampir semua industri
sektor riil di Indonesia dan lima negara ASEAN lainnya sangat bergantung pada
barang modal impor. Oleh karena itu, penguatan nilai tukar dapat stabil dan
neraca perdagangan tetap surplus apabila dapat mengurangi ketergantungan pada
impor barang modal dan mengurangi utang luar negeri swasta. Jika hal tersebut
dapat tercapai, maka permintaan terhadap dollar AS untuk membeli barang
impor maupun untuk membayar utang luar negeri berkurang sehingga tekanan
terhadap kurs mata uang di pasar uang pun akan menurun.
2009 – 2014 (y-o-y, %)
Pada tahun 2013, seluruh nilai tukar mata uang di kawasan melemah terhadap USD
*=
Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang
Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)
Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date
Sumber: Bloomberg (2014)
Gambar: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2011 – 2014*
(y-oy,%)
(y-oy,%)
*= Data
untuk Brunei Darussalam, Cambodia, Myanmar adalah posisi per-Desember 2013 (y-o-y). Data untuk Indonesia,
Lao PDR. Malaysia, The Philippines, Singapore, Thailand, Viet Nam adalah posisi
per-Januari 2014 (y-o-y)
Sumber: Bloomberg (2014)
Sumber: Bloomberg (2014)
Tingkat
inflasi yang masih relatif tinggi di ASEAN adalah salah satu penyebab utama
yang menyebabkan hambatan bagi perekonomian untuk mencapai tingkat pertumbuhan
yang optimal dan tingkat perbaikan kesejahteraan yang signifikan. Sepanjang tahun 2013, Indonesia tercatat
sebagai negara dengan tingkat inflasi tertinggi di kawasan yang menyebabkannya
berada di dalam kelompok negara-negara yang mencatat tingkat inflasi yang
tinggi seperti Lao PDR dan Vietnam. Berbeda dengan negara-negara lain di
kawasan yang relatif sukses menekan laju inflasi pada kisaran di bawah 3%,
pemerintah Indonesia, Lao PDR dan Vietnam terbukti belum mampu menekan laju
inflasi di dalam sistem perekonomiannya.
Pada
perkembangan terkini melalui rilis tingkat inflasi pada bulan Januari 2014 yang
lalu, bahkan Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat inflasi year-on-year tertinggi di kawasan. Indonesia memperoleh capaian IHK yang
tercatat 8,22% berbeda signifikan dengan pencatat inflasi tertinggi berikutnya
yaitu Lao PDR (5,99%) dan Viet Nam (5,45%). Tekanan inflasi pada perekonomian
kawasan ini hendaknya menjadi perhatian yang serius oleh negara-negara anggota
ASEAN karena hal ini akan sangat mempengaruhi kesiapan mereka secara kolektif
untuk menyongsong ASEAN Economic Community 2015.
Referensi : http://www.macroeconomicdashboard.com