SUBJEK DAN OBJEK HUKUM
2.1 Pendahuluan
Orang atau person adalah pembawa hak dan kewajiban atau
setiap mahluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak
dan kewajiban dalam lalu lintas hukum disebut sebagai subjek hukum.
Subjek hukum terdiri dari dua, yakni manusia biasa dan badan hukum.
Subjek hukum terdiri dari dua, yakni manusia biasa dan badan hukum.
2.2 Manusia Biasa (Natuurlijke Persoon)
Manusia sebagai subjek hukum telah mempunyai hak dan mampu
menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku.
Dalam pada itu, seorang manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum) dimulai sejak ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia sehingga dikatakan bahwa manusia hidup, ia menjadi manusia pribadi, kecuali dalam Pasal 2 Ayat 1 KUHP Perdata menegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya, dengan memenuhi persyaratan
a. si anak telah dibenihkan pada saat kepentingan tersebut timbul,
b. si anak harus dilahirkan hidup, dan
c. ada kepentingan yang menghendaki anak tersebut memperoleh
status sebagai hukum.
Ditambahkan pula dalam Pasal 2 Ayat 2 KUHP Perdata bahwa apabila ia dilahirkan mati maka ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian, negara Republik Indonesia sebagai negara hukum mengakui pada setiap manusia terhadap undang-undang, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang.
Sementara itu, dalam Pasal 27 UUD 1945 menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dalam pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan demikian, setiap manusia pribadi (natuurlijke person) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subjek hukum, kecuali dalam undang-undang dinyatakan tidak cakap. Seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :
1. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut
hukum (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat.
2. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 1330 KUHP Perdata
tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah
a. orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun);
b. orang di taruh di bawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena
gangguan jiwa, pemabuk, atau pemboros;
c. orang wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus
sebagai isteri (telah dicabut dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3/ 1963 Y0 Pasal 31
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menetapkan hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
dan tiap-tiap pihak berhak melakukan perbuatan hukum).
Dalam pada itu, seorang manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum) dimulai sejak ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia sehingga dikatakan bahwa manusia hidup, ia menjadi manusia pribadi, kecuali dalam Pasal 2 Ayat 1 KUHP Perdata menegaskan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya, dengan memenuhi persyaratan
a. si anak telah dibenihkan pada saat kepentingan tersebut timbul,
b. si anak harus dilahirkan hidup, dan
c. ada kepentingan yang menghendaki anak tersebut memperoleh
status sebagai hukum.
Ditambahkan pula dalam Pasal 2 Ayat 2 KUHP Perdata bahwa apabila ia dilahirkan mati maka ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian, negara Republik Indonesia sebagai negara hukum mengakui pada setiap manusia terhadap undang-undang, artinya bahwa setiap orang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang.
Sementara itu, dalam Pasal 27 UUD 1945 menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, dalam pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan demikian, setiap manusia pribadi (natuurlijke person) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subjek hukum, kecuali dalam undang-undang dinyatakan tidak cakap. Seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut :
1. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut
hukum (telah berusia 21 tahun) dan berakal sehat.
2. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 1330 KUHP Perdata
tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah
a. orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun);
b. orang di taruh di bawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena
gangguan jiwa, pemabuk, atau pemboros;
c. orang wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus
sebagai isteri (telah dicabut dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3/ 1963 Y0 Pasal 31
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menetapkan hak
dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan-pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
dan tiap-tiap pihak berhak melakukan perbuatan hukum).
2.3 Badan Hukum (Rechts Persoon)
Badan hukum (rechts person) merupakan badan-badan
atau kumpulan. Badan hukum (rechts person),
yakni orang (person) yang diciptakan
oleh hukum. Oleh Karena itu, badan hukum (rechts
person) sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan
hukum) seperti manusia.
Dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.
Misalnya, suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan
sebagai badan hukum,dengan cara
a. didirikan dengan akta notaris;
b. didaftarkan di kantor panitera pengadilan negeri setempat;
c. dimintakan pengesahan anggaran dasar (AD) kepada Menteri
Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum
dana pensiun, pengesahan anggaran dasarnya dilakukan
oleh Menteri Keuangan;
d. diumumkan dalam Berita Negara RI.
Dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia, seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.
Misalnya, suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan
sebagai badan hukum,dengan cara
a. didirikan dengan akta notaris;
b. didaftarkan di kantor panitera pengadilan negeri setempat;
c. dimintakan pengesahan anggaran dasar (AD) kepada Menteri
Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum
dana pensiun, pengesahan anggaran dasarnya dilakukan
oleh Menteri Keuangan;
d. diumumkan dalam Berita Negara RI.
Badan hukum
(rechts person) dibedakan dalam dua
bentuk, yakni badan hukum publik (publiek
rechts person) dan badan hukum privat (privat
rechts person).
1. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut
kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Dengan demikian, badan hukum ini merupakan badan-badan
negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-
undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (pemerintah)
atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti negara
Republik Indonesia, pemerintah daerah tingkat I dan II,
Bank Indonesia, dan perusahaan-perusahaan negara.
1. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut
kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Dengan demikian, badan hukum ini merupakan badan-badan
negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-
undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (pemerintah)
atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti negara
Republik Indonesia, pemerintah daerah tingkat I dan II,
Bank Indonesia, dan perusahaan-perusahaan negara.
2. Badan Hukum Privat (Privat
Rechts Persoon)
Badan Hukum Privat (privat rechts persoon)adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut
kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian, badan hukum itu merupakan badan swast
yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan,
sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya menurut hukum
yang berlaku secara sah, misalnya perseroan terbatas, koperasi,
yayasan, dan badan amal.
Badan Hukum Privat (privat rechts persoon)adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut
kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian, badan hukum itu merupakan badan swast
yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan,
sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya menurut hukum
yang berlaku secara sah, misalnya perseroan terbatas, koperasi,
yayasan, dan badan amal.
2.4 Objek Hukum
Objek hukum menurut
Pasal 499 KUHP Perdata, yakni benda. Benda adalah segala sesuatu yang berguna
bagi subjek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan
kepentingan bagi para subjek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi objek
dari hak milik (eigendom)
Kemudian, berdasarkan Pasal 503 sampai dengan Pasal 504 KUHP Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni benda yang bersifat kebendaan (materiekegoederen) dan benda yang bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen).
1. Benda yang Bersifat Kebendaan (Materiekegoederen) adalah
suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dan dirasakan
dengan panca indera, terdiri dari
a. benda bertubuh/ berwujud, meliputi
1. Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat
dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan;
2. Benda tidak bergerak;
b. benda tidak bertubuh/tidak berwujud, seperti surat berharga.
2. Benda yang Bersifat Tidak Kebendaan (Immateriekegoederen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen) adalah
suatu benda yang hanya dirasakan oleh panca indera saja
(tidak dapat dilihat)
dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan,
contohnya merek perusahaan, paten, dan ciptaan musik atau lagu.
Kemudian, dalam Bab 7 akan diuraikan tentang hak cipta, paten,
dan merek sebagai bagian dari benda yang bersifat tidak kebendaan.
Kemudian, berdasarkan Pasal 503 sampai dengan Pasal 504 KUHP Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni benda yang bersifat kebendaan (materiekegoederen) dan benda yang bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen).
1. Benda yang Bersifat Kebendaan (Materiekegoederen) adalah
suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dan dirasakan
dengan panca indera, terdiri dari
a. benda bertubuh/ berwujud, meliputi
1. Benda bergerak/tidak tetap, berupa benda yang dapat
dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan;
2. Benda tidak bergerak;
b. benda tidak bertubuh/tidak berwujud, seperti surat berharga.
2. Benda yang Bersifat Tidak Kebendaan (Immateriekegoederen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (immateriekegoederen) adalah
suatu benda yang hanya dirasakan oleh panca indera saja
(tidak dapat dilihat)
dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan,
contohnya merek perusahaan, paten, dan ciptaan musik atau lagu.
Kemudian, dalam Bab 7 akan diuraikan tentang hak cipta, paten,
dan merek sebagai bagian dari benda yang bersifat tidak kebendaan.
Dalam pada itu, berdasarkan uraian di
atas maka di dalam KUH
Perdata benda dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Barang yang wujud (lichamelijk) dan barang yang tidak
berwujud (onlichamelijk);
2. Barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak;
3. Barang yang dapat dipakai habis (vebruikbaar) dan barang-barang
yang dipakai tidak habis (onverbruikbaar);
4. Barang-barang yang sudah ada (tegenvoordigezaken)
dan barang-barang yang masih akan ada (teokomtigezaken);
5. Barang-barang uang dalam perdagangan (zaken in de handle)
dan barang-barang yang di luar perdagangan (zaken buiten de handle);
6. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang
yang tidak dapat dibagi.
Sementara itu, di antara keenam perbedaan di atas yang paling penting
adalah membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Perdata benda dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Barang yang wujud (lichamelijk) dan barang yang tidak
berwujud (onlichamelijk);
2. Barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak;
3. Barang yang dapat dipakai habis (vebruikbaar) dan barang-barang
yang dipakai tidak habis (onverbruikbaar);
4. Barang-barang yang sudah ada (tegenvoordigezaken)
dan barang-barang yang masih akan ada (teokomtigezaken);
5. Barang-barang uang dalam perdagangan (zaken in de handle)
dan barang-barang yang di luar perdagangan (zaken buiten de handle);
6. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang
yang tidak dapat dibagi.
Sementara itu, di antara keenam perbedaan di atas yang paling penting
adalah membedakan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
2.4.1 Benda Bergerak
Benda bergerak dibedakan
menjadi sebagai berikut.
a. Benda bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUHP Perdata
adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja,
kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut
Pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak,
misalnya hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas
benda-benda bergerak, hak pakai (gebruik) atas benda bergerak,
dan saham-saham perseroan terbatas.
a. Benda bergerak karena sifatnya, menurut Pasal 509 KUHP Perdata
adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja,
kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak.
b. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut
Pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak,
misalnya hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas
benda-benda bergerak, hak pakai (gebruik) atas benda bergerak,
dan saham-saham perseroan terbatas.
2.4.2 Benda Tidak Bergerak
Benda tidak bergerak dapat
dibedakan menjadi, seperti berikut.
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu
yang melekat di atasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan,
arca, dan patung.
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya, yakni mesin alat-alat
yang dipakai dalam pabrik.
Mesin senebar benda bergerak, tetapi oleh yang pemakainya
dihubungkan atau dikaitkan pada benda tidak bergerak
yang merupakan benda pokok.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud
hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak,
misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak bergerak,
hak pakai atas benda tidak bergerak, dan hipotik.
a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu
yang melekat di atasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan,
arca, dan patung.
b. Benda tidak bergerak karena tujuannya, yakni mesin alat-alat
yang dipakai dalam pabrik.
Mesin senebar benda bergerak, tetapi oleh yang pemakainya
dihubungkan atau dikaitkan pada benda tidak bergerak
yang merupakan benda pokok.
c. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud
hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak,
misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak bergerak,
hak pakai atas benda tidak bergerak, dan hipotik.
Dengan demikian, membedakan benda
bergerak dan benda tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan
dengan empat hal adalah pemilikan (bezit),
penyerahan (levering), daluwarsa (verjaring), dan pembebanan (bezwezaring).
a. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (bezit), yakni dalam hal benda bergerak berlaku asas yang
tercantum dalam Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu bezitter
dari barang bergerak adalah eigenaar (pemilik) dari barang tersebut,
sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian halnya.
b. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (levering), yakni terhadap benda bergerak dapat
dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau
dari tangan ke tangan,
sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
c. Daluarsa (Verjaring)
Daluwarsa (verjaring), yakni untuk benda-benda bergerak tidak
mengenal daluarsa,sebab bezit disini sama dengan
eigendom (pemilikan) atas benda bergerak tersebut,
sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak
mengenal adanya daluwarsa.
d. Pembebanan (Bezwaring)
Pembebanan (bezwaring), yakni terhadap benda bergerak dilakukan
dengan pand (gadai, fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak
dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda
selain tanah digunakan fidusia.
a. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (bezit), yakni dalam hal benda bergerak berlaku asas yang
tercantum dalam Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu bezitter
dari barang bergerak adalah eigenaar (pemilik) dari barang tersebut,
sedangkan untuk benda tidak bergerak tidak demikian halnya.
b. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (levering), yakni terhadap benda bergerak dapat
dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau
dari tangan ke tangan,
sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
c. Daluarsa (Verjaring)
Daluwarsa (verjaring), yakni untuk benda-benda bergerak tidak
mengenal daluarsa,sebab bezit disini sama dengan
eigendom (pemilikan) atas benda bergerak tersebut,
sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak
mengenal adanya daluwarsa.
d. Pembebanan (Bezwaring)
Pembebanan (bezwaring), yakni terhadap benda bergerak dilakukan
dengan pand (gadai, fidusia), sedangkan untuk benda tidak bergerak
dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda
selain tanah digunakan fidusia.
2.5 Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai
Pelunasan Utang
(Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang (hak jaminan) adalah hak
jaminan yang melekat pada kreditor yang memberikan kewenangan kepadanya untuk
melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan, jika debitor melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi
(perjanjian).
Dengan demikian, hak jaminan tidak dapat berdiri sendiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).
Perjanjian uang-piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meninjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Dengan demikian, hak jaminan tidak dapat berdiri sendiri karena hak jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan (accessoir) dari perjanjian pokoknya, yakni perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).
Perjanjian uang-piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meninjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
2.6 Macam-macam Perlunasan Utang
Dalam perlunasan
utang adalah terdiri dari perlunasan bagi pinjaman yang bersifat umum dan
perlunasan yang bersifat khusus.
2.6.1 Perlunasan Utang dengan Jaminan Umum
Pelunasan
utang dengan jaminan umum didasarkan pada Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132
KUH Perdata.
Sementara itu, dalam Pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitor, baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap perlunasan utang yang dibuatnya, sedangkan Pasal 1132 KUH perdata menyebutkan harta kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberikan utang kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yakni menurut besar-kecilnya piutang masing-masing . Kecuali, jika di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dalam hal ini, benda yang dapat dijadikan perlunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan, antara lain
a. benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang);
b. benda tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
Sementara itu, dalam Pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa segala kebendaan debitor, baik yang ada maupun yang akan ada, baik bergerak maupun yang tidak bergerak merupakan jaminan terhadap perlunasan utang yang dibuatnya, sedangkan Pasal 1132 KUH perdata menyebutkan harta kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditor yang memberikan utang kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yakni menurut besar-kecilnya piutang masing-masing . Kecuali, jika di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
Dalam hal ini, benda yang dapat dijadikan perlunasan jaminan umum apabila telah memenuhi persyaratan, antara lain
a. benda tersebut bersifat ekonomis (dapat dinilai dengan uang);
b. benda tersebut dapat dipindahtangankan haknya kepada pihak lain.
2.6.2 Perlunasan Utang dengan Jaminan Khusus
Dalam
pada itu, merupakan hak khusus bagi jaminan tertentu bagi pemegang gadai,
hipotik, hak tanggungan, dan fidusia.
2.7 Gadai
Sementara itu, gadai
di ataur dalam Pasal 1150-1160 KUH Perdata. Dalam Pasal 1150 KUH Perdata
disebutkan bahwa gadai adalah hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang
bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya
untuk menjamin suatu utang. Selain itu, memberikan kewenangan kepada kreditor
untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dan kreditur-kreditur
lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk memelihara benda itu dan biaya-biaya itu harus didahulukan.
2.8 Hipotik
Ketentuan mengenai
hipotik diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata .
Sementara itu, hipotik berdasarkan Pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perutangan (verbintenis).
Sementara itu, hipotik berdasarkan Pasal 1162 KUH Perdata adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perutangan (verbintenis).
2.9 Hak Tanggungan
Berdasarkan Pasal 1
(1) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), hak tanggungan merupakan hak jaminan
atas tanah yang dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang dan memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kredior-kreditor yang lain.
2.10 Fidusia
Fidusia yang lazim
dikenal dengan nama FEO (fiduciare
eigendoms overdracht) yang dasarnya merupakan suatu perjanjian accesor antara debitor dan kreditor yang
isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda bergerak milik
debitor kepada kreditur. Namun, benda tersebut masih dikuasi oleh debitor
sebagai peminjam pakai sehingga yang diserahkan kepada kreditor adalah hak
miliknya.
Penyerahan demikian dinamakan penyerahan secara contitutum possesorim, artinya hak milik (bezit) dari barang di mana barang tersebut tetap pada orang yang mengalihkan (pengalihan pura-pura).
Dengan demikian, hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dengan penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Namun, dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia maka penyerahan hak milik suatu barang debitor atau pihak ketiga kepada kreditor secara kepercayaan sebagai jaminan utang.
Dalam pada itu, sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 lembaga jaminan fidusia telah diakui berdasarkan yurisprudensi Keputusan Hooggerechtsh tanggal 18 Agustus 1932 serta Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 September 1971 Reg No. 372/K/Sip/1970.
Sementara itu, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) memberikan pengertian, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sesuatu atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya dialihkan dan penguasaan tetap ada pada pemilik benda. Selain itu, pengertian jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUJF.
Jaminan fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi perlunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemberi fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut di atas maka terdapat perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan, sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
Adapun sifat dari jaminan fidusia berdasarkan Pasal 4 UUJF, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikatan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak di dalam memenuhi suatu prestasi untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang sehingga akibatnya jaminan fidusia hapus demi hukum apabila perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia hapus.
Penyerahan demikian dinamakan penyerahan secara contitutum possesorim, artinya hak milik (bezit) dari barang di mana barang tersebut tetap pada orang yang mengalihkan (pengalihan pura-pura).
Dengan demikian, hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dengan penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Namun, dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia maka penyerahan hak milik suatu barang debitor atau pihak ketiga kepada kreditor secara kepercayaan sebagai jaminan utang.
Dalam pada itu, sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 lembaga jaminan fidusia telah diakui berdasarkan yurisprudensi Keputusan Hooggerechtsh tanggal 18 Agustus 1932 serta Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 September 1971 Reg No. 372/K/Sip/1970.
Sementara itu, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) memberikan pengertian, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sesuatu atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya dialihkan dan penguasaan tetap ada pada pemilik benda. Selain itu, pengertian jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUJF.
Jaminan fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi perlunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemberi fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dengan demikian, berdasarkan kedua pasal tersebut di atas maka terdapat perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia. Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan, sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.
Adapun sifat dari jaminan fidusia berdasarkan Pasal 4 UUJF, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikatan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak di dalam memenuhi suatu prestasi untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang sehingga akibatnya jaminan fidusia hapus demi hukum apabila perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia hapus.
Sumber : Elsi Kartika Sari, S.H.,M.H. dan
Advendi Simanunsong, S.H.,M.M.
“HUKUM DALAM EKONOMI”, Grasindo
Advendi Simanunsong, S.H.,M.M.
“HUKUM DALAM EKONOMI”, Grasindo