Jumat, 24 April 2015

HUKUM PERIKATAN



HUKUM PERIKATAN

Perikatan

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya.
                Dalam bahasa Belanda perikatan disebut verbintenissenrecht. Namun, terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah hukum perikatan. Misalnya, Wiryono Prodjodikoro dan R. Subekti.
1.       Wiryono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian,(bahasa Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wiryono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
2.      R.Subekti tidak menggunakan istilah hukum perikatan, tetapi menggunakan istilah perikatan sesuai dengan judul Buku III KUH Perdata, R.Subekti menulis perkataan perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab di dalam Buku III KUH Perdata memuat tentang perikatan yang timbul dari
1.       Persetujuan atau perjanjian;
2.       Perbuatan yang melanggar hukum;
3.       Pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
       persetujuan (zaakwaarnemiingI).
       
Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst,sedangkan hukum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Sementara itu, pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, perikatan dapat terjadi karena
1.    Perjanjian (kontrak), dan
2.    Bukan perjanjian (dari undang-undang).
       
          Perjanjian adalah peristiwa di mana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini maka timbul suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini yang dinamakan dengan perikatan.
          Dengan kata lain, hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistim terbuka. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1.       Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.       Perikatan yang timbul dari undang-undang.
Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat dibagi menjadi dua, yakni perikatan terjadi karena undang-undang semata dan perikatan terjadi karena undang-undang akibat dari perbuatan manusia.
 a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata, misalnya kewajiban
     orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak, yaitu hukum kewarisan.
 b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
     menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah)
     dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah).
3.       Perikatan terjadi bukan perjanjian,tetapi terjadi karena perbuatan
       melanggar hukum (onrechtmatig daad) dan perwakilan
       sukarela (zaakwaarneming).

Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian

Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni melanggar atas kebebasan berkontrak dan asas konsessualisme.

Wansprestasi

Sementara itu, wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan, misalnya ia alpa (lalai) atau ingkar janji.
       Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni
1.       tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.       melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.       melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.       melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
                  Oleh karena itu, kelalaian (wanstprestasi) mempunyai akibat-akibat yang berat maka tidak mudah untuk menyatakan bahwa seseorang lalai atau alpa.
                  Di dalam Pasal 1238 KUH Perdata menyebutkan bagaimana caranya memperingatkan seseorang debitor.
                  Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus tetap dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
                  Dengan demikian, terhadap kelalaian atau kealpaan si debitor sebagai pihak yang melanggar kewajiban dapt diberikan beberapa sanksi atau hukuman.

Akibat-Akibat Wansprestasi

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian;peralihan risiko.
1.       Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti Rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni
a.       Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.      Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor;
c.       Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2.       Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
          Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau satu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang maka harus dikembalikan sehingga perjanjian itu ditiadakan.

3.       Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata. Oleh karena itu, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan (risiko) si berpiutang (pihak yang berhak menerima barang). 

Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:
a.       pembayaran merupakan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela;
b.      penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c.       pembaharuan utang;
d.      perjumpaan utang atau kompensasi;
e.      percampuran utang;
f.        pembebasan utang;
g.       musnahnya barang yang terutang;
h.      batal/pembatalan;
i.         berlakunya suatu syarat batal;
j.        lewat waktu.

Sumber : Elsi Kartika Sari, S.H.,M.H. dan Advendi Simanunsong, S.H.,M.M.
“HUKUM DALAM EKONOMI”, Grasindo